-->

Notification

×

Kategori Berita

CARI BERITA

Iklan

Iklan


Iklan



Berkawan Ombak Berselimut Badai Mengarungi Selat Makassar

| Rabu, September 14, 2022 WIB | Last Updated 2022-12-03T09:25:20Z
MARWAHRIAU.COM - Kisah menegangkan dan ironi dituturkan para pengemudi ”sandeq” dalam Festival Sandeq 2022. Namun, mereka tak ambil pusing dan malahan bangga menjadi ”passandeq”. Mereka bentangkan layar, menjadi nelayan, dan menghargai laut.

Selama seminggu, 34 sandeq atau kapal tradisional suku Mandar dikemudikan mengarungi Selat Makassar dalam Festival Sandeq 2022. Terdapat kisah menegangkan dan ironi dari para passandeq atau pengemudi sandeq. Kendati demikian, mereka tak ambil pusing dan bangga menjadi passandeq. Mereka membentangkan layar kembali, menjadi nelayan, dan menghargai laut sebagai laku tunduk kepada Tuhan.

Paris baru saja selesai menggulung layar sandeq yang ia tumpangi. Sambil menyantap makanan ringan dari panitia, pria 67 tahun tersebut bercerita bahwa itu adalah pengalaman pertamanya mengarungi Selat Makassar dengan sandeq. Ia bersama tujuh anggota tim mengemudikan perahu tradisional suku Mandar yang tak bermesin dan hanya mengandalkan terpaan angin tersebut.

Ia berangkat dari kampungnya, yakni Pantai Silopo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, pada 31 Agustus 2022. Ia mengarungi Selat Makassar dari pantai itu menuju Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, dalam Festival Sandeq 2022. Festival itu digelar Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dengan tema ”Indonesia Mendukung Ibu Kota Nusantara (IKN)”.

Ia menepi di Pantai Manggar, Kota Balikpapan, pada Rabu (7/9/2022). Perjalanan panjang itu menyisakan kisah menegangkan. Baru sehari berlayar, ia dan tim menghadapi angin besar dan hujan lebat. Mereka hanya mengenakan jas hujan dan pelampung saat menghadapi cuaca buruk itu.

Angin kencang membuat kemudi berat dikendalikan. Jika terus dibiarkan, kapal bisa terbawa angin, tetapi tak melaju ke tujuan. Akhirnya, kemudi perlu diarahkan oleh beberapa orang agar layar bisa dikendalikan.

Tak sampai di situ, saat ingin menepi di Pulau Ambo untuk istirahat, cadik perahu membentur karang. ”Prak! Itu baratang (cadik dalam bahasa Mandar) patah. Untung di pulau itu ada warga. Kami minta bantuan untuk ganti dengan kayu baru,” kata Paris.

Nasrul (42), teman satu sandeq Paris, tak akan pernah melupakan perjalanan panjang nan menegangkan itu. Di hari ketiga berlayar, ia menyaksikan sebuah sandeq karam lantaran tiang layar perahu patah. Ia tak mengetahui pasti penyebab insiden tersebut. Saat melintas, ia sudah menyaksikan perahu sandeq perlahan tenggelam.

”Beruntung karena kami diikuti kapal nelayan. Penggawa sandeq di kapal itu alhamdulillah selamat. Tapi, kasihan karena mereka tidak bisa melanjutkan festival,” katanya dengan dahi mengernyit. Alhasil, dari 35 sandeq yang berlayar, hanya tersisa 34 sandeq yang melanjutkan perjalanan.

Untuk menjaga keamanan dan memberi suplai makanan, perahu sandeq memang didampingi oleh 35 bodi atau perahu nelayan berkapasitas 14 gros ton (GT). Saat insiden itu terjadi, tim di perahu nelayan segera menyelamatkan para pengemudi sandeq sebelum sandeq-nya karam. 

”Perjalanan ini judulnya, ’berkawan ombak, berselimut badai’,” ujar Nasrul terkekeh-kekeh di atas sandeq balap yang ia tumpangi.

Mahkota nelayan

Para passandeq praktis tak berkontak dengan keluarga selama di tengah laut. Mereka hanya mengandalkan satelit di kapal nelayan pendamping untuk sampai tujuan. Saat melihat lekuk-lekuk bangunan di ujung pandangan, mereka bak melihat oase di tengah gurun.

Hisbullah (19) bercerita, saat melihat tanda-tanda daratan, ia langsung menyalakan gawainya. Sambil berlayar, ratusan pesan masuk bertubi-tubi. Pesan terbanyak datang dari teman-teman dan keluarga.

”Keluarga juga telepon. Mereka tanya kabar sampai nangis. Mereka takut kami kenapa-kenapa di tengah laut,” katanya.

Hisbullah menumpangi sandeq kuno yang dibuat tahun 1960-an, berbeda dengan yang ditumpangi Nasrul dan Paris. Badan perahu sandeq kuno lebih pendek dan sedikit lebar. Sandeq kuno juga menggunakan semacam alas anyaman bambu di sisi kanan-kiri kapal. Fungsinya, agar pengemudi leluasa menangkap ikan di badan sandeq yang tak terlalu lebar.

"Kami tangkap ikan pakai sandeq kuno ini secukupnya. Tidak bisa berton-ton. Allah kasih kami ikan banyak di laut, tapi enggak boleh serakah," katanya.

Selain itu, sandeq kuno masih menggunakan tikar dan atap dari anyaman daun kelapa. Mereka menyebutnya lapi-lapi. Lapi-lapi digunakan sebagai alas duduk ataupun atap ketika hujan atau panas begitu terik. Biasanya, di atas sandeq kuno terdapat dung, sejenis caping yang terbuat dari kulit dan daun bambu.
Abdul Kadir, pemilik sandeq kuno bercerita bahwa sandeq miliknya masih ia gunakan untuk mencari ikan. Baginya, sandeq mengajarkan manusia tetap mawas diri dan tak rakus. Sebab, sandeq tak bisa dipaksakan dibawa sendiri dalam jarak jauh.

”Kami tangkap ikan pakai sandeq kuno ini secukupnya. Tidak bisa berton-ton. Allah kasih kami ikan banyak di laut, tapi enggak boleh serakah,” ujar pria 58 tahun itu.

Ironi

Sebelum menepi di Pantai Manggar, para passandeq itu terlebih dahulu menunggu Penjabat Gubernur Sulawesi Barat Akmal Malik dan sejumlah Bupati di Sulbar. Para pejabat itu sudah tiba lebih dulu dan menginap di sejumlah hotel di Balikpapan. Saat sandeq bakal menepi, mereka diantar perahu ke laut, kemudian menumpangi sandeq untuk menepi ke pantai bersama-sama.

Saat menepi ke Pantai Manggar, mereka disambut oleh Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud. Para pejabat dari Sulbar itu kemudian ditandu, laiknya ritual maromba passandeq. Saat itu, Wali Kota Rahmad Mas’ud menyampaikan harapannya supaya kegiatan itu bisa menggelorakan wisata bahari dan kerja sama antardaerah.

”Dengan kehadiran Pj Gubernur Sulbar dan bupati se-Sulbar, diharapkan ada sinergi dalam membangun Kaltim, khususnya untuk menyukseskan pembangunan Ibu Kota Nusantara,” ujar Rahmad.

Pernyataan itu disambut oleh Akmal Malik. Ia berharap Festival Sandeq dengan anggaran sekitar Rp 4 miliar itu bisa turut melestarikan kekayaan budaya sandeq. ”Kami ingin membanggakan Indonesia di dunia internasional (bahwa kami) masih memiliki kapal sandeq yang hanya mengandalkan angin dan tenaga manusia untuk berlayar,” kata Akmal.

Setelah acara selesai, Nasrul mengaku tak peduli dengan kegiatan seremoni itu. Setiba di Kota Balikpapan, mereka hanya ingin istirahat. Mereka tak punya energi lebih untuk berjalan-jalan. Pinggang Nasrul butuh peregangan lantaran tujuh hari berturut-turut bergantian mengarahkan layar sandeq.

”Pejabat itu enak, tidurnya di hotel. Kami ini tidur di perahu malam ini. Tidak dikasih penginapan sama panitia,” ujar Nasrul sambil tertawa.

”Untuk pijit-pijit kami yang sudah seminggu di laut ini juga tidak ada, ya, ji?” Paris menimpali.

Selama di Kota Balikpapan, mereka melanjutkan rangkaian festival sampai tanggal 9 September 2022. Mereka berlayar ke beberapa tempat untuk menghibur warga. Jumat (9/9/2022) malam, Hisbullah pamit karena harus kembali ke Sulbar menaiki sandeq.

Ia bercerita, selama di Balikpapan, ia tidur mengemper di mushala di Pantai Manggar. Di ujung telepon, ia bercerita bakal melanjutkan kegiatan lagi sebagai nelayan di kampungnya. ”Kami nelayan kecil ini memang tidurnya di perahu dan ngemper, Bang. Lain kalau pejabat, mewah tidurnya,” seloroh Hisbullah.(tempo.com)