-->

Notification

×

Kategori Berita

CARI BERITA

Iklan

Iklan


Iklan






Legenda Ikan Patin (Cerita Rakyat Riau)

| Sunday, December 19, 2021 WIB | Last Updated 2022-12-03T09:02:39Z

MARWAH RIAU - Ikan patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik, mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar sungai dan lebih banyak mencari makan pada malam hari.

Ikan patin banyak dijumpai di Provinsi Riau, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. 

Selain itu, ikan patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih.

Kini, ikan patin yang asli dari sungai sudah jarang dijumpai. Sejak 10 tahun terakhir, budidaya ikan patin sudah mulai ramai dilakukan oleh masyarakat Riau. Namun, hasilnya sangat berbeda dengan ikan asli dari sungai. 

Ikan patin hasil budidaya ukurannya lebih pendek dan ringan, rata-rata hanya sepanjang 25-50 centimeter dengan berat kurang dari satu kilogram dan terkadang masih berbau. tanah. Walaupun demikian, jika ikan patin tersebut dimasak dengan bumbu yang benar, mencium aromanya saja sudah mampu menggugah selera bagi penikmatnya.

Oleh karenanya, di sejumlah warung makan di Riau, menu masakan ikan patin menjadi salah satu menu favorit khas Melayu, khususnya masakan gulai ikan patin dan asam pedas ikan patin. Namun, senikmat dan segurih apa pun ikan patin, tidak semua orang Melayu mau memakannya. Kenapa sebagian orang Melayu tidak mau memakan ikan patin? Temukan jawabanaya dalam cerita Legenda Ikan Patin berikut ini!

Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya diha­biskan untuk bekerja mencari ikan dan mencari kayu di hutan.

Suatu hari, Awang Gading mengail di sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya. Burung-burung turut berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sudah berkali-kali umpannya dimakan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.

“Air pasang telan ke insang, air surut telan ke perut, renggutlah …! Biar putus jangan rabut,” terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.

Perlahan hari beranjak petang, na­mun tak seekor ikan pun diperolehnya. “Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini,” keluh Awang Gading. Ia bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang. Tiba-tiba terdengar tangisan bayi. Dengan penasaran, Awang Gading mencari asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perem­puan tergolek di atas batu. Rupanya dia baru saja dilahirkan oleh ibunya.

“Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” gumam Awang Gading kemudian membawa pu­lang bayi perempuan tersebut. Malam itu juga Awang Gading menghadap tetua kampungnya untuk memperlihatkan bayi yang ditemukannya.

“Berbahagialah Awang, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah dia dengan baik,” pesan Tetua Kampung.

Keesokan harinya, Awang Gading meng­adakan tasyakuran atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Awang me­ngun­dang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi tersebut Da­yang Kumunah.

“Dayang sayang, anakku seorang …. Cepatlah besar menjadi gadis dambaan,” dendang Awang Gading saat menimang-nimang Dayang Kumunah.

Sejak kehadiran Dayang, Awang ber­tam­bah rajin bekerja. Awang memberi­kan kasih sayang dan perhatian yang melimpah untuk Dayang. Berbagai penge­tahuan yang dimiliki ditularkannya kepada Dayang. Tak lupa pelajaran budi pekerti juga dibe­rikannya. Kadang diajaknya Dayang men­­cari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.

Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia juga rajin membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari, seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di ru­mah Awang Gading. Dia terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang Gading. Lamaran Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat.

“Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya akan menjadi seorang istri yang baik, tetapi jangan minta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah.

Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.

Pernikahan mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah. Semua tetangga dan kerabat kedua mempelai diundang. Aneka hidangan ter­sedia dengan melim­pah. Seluruh undangan gembira menyak­sikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Sungguh pasangan yang serasi.

Awangku Usop dan Dayang Ku­mu­­nah hidup berbahagia. Namun, kebaha­giaan mereka tak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikah­an, Awang Gading meninggal dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah ber­sedih meskipun Awang Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. 

Untunglah, kesedihan Dayang Kumunah segera terobati dengan ke­lahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.

Suatu hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Ku­mu­nah. Awangku Usop meminta Da­yang Kumunah untuk tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. 

Akhirnya, Dayang pun tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang ikan di mulut Dayang Kumunah yang menandakan ia keturunan ikan. Setelah itu, Dayang segera berlari ke sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh Da­yang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya. Awangku Usop telah mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.

Awangku Usop segera menyadari ke­khilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah mereka. Namun, semua sudah terlambat. Dayang telah terjun ke sungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih. Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin karena dianggap sebagai keluarga.

Suatu hari di waktu dia sedang memancing dan tidak menemukan seekor ikan pun sama sekali. Di waktu perjalanan pulang dia mendengarkan seorang bayi yang sedang menangis. Karena rasa penasaran dia mencari dari mana suara itu berasal, Tak lama mencari, dia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergeletar di atas batu. Kelihatannya bayi itu baru dilahirkan oleh ibunya. karena rasa iba, dibawanya bayi tersebut pulang ke rumahnya.

Ketika sampai di rumahnya Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Dengan bahagia Awang Gading menimang-nimang sang bayi yang sedang mendendang. Dia berjanji akan bekerja lebih giat lagi dan mendidik anak tersebut dengan baik. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan serta pelajaran budi pekerti. Setiap hari dia juga mengajak Dayang pergi Memancing atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih luas.

Waktu terus berjalan Dayang Kumunah pun tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik serta berbudi pekerti luhur. Dia juga sangat rajin membantu ayahnya. Tetapi sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari seorang pemuda kaya dan tampan yang tidak sengaja lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera melamarnya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop melamart Dayang Kumunah pada Awang Gading. Setelah Dayang Kumunah berfikir beberapa lama, dia menerima pinangan Awangku Usop dengan syarat jangan pernah meminta saya untuk tertawa. Awangku Usop menyetujuhi syarat yang di ajukan Dayang Kumunah tersebut.

Pernikahan pun dilangsungkan, namun terjadi sebuah kejadian yang tak bahagia setelah pernikahan tersebut Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Peristiwa itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih, sampai berbulan – bulan,Untungnya kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah 5 orang.

Tetapu, Awang Usop merasa tak bahagia karena belum melihat Dayang Kumunah tertawa. Sejak pertemuan pertama kali sampai sekarang, istri Awang Usop belum pernah tertawa sama sekali. Namun di suatu sore, Dayang Kumunah bersama – sama keluarganya sedang berada di depan rumah. 

Mereka bercanda ria dan Semua anggota keluarga tertawa bahagia kecuali si Dayang Kumunah. Pada saat itu Awang Usop mendesak Dayang Kumunah untuk ikut tertawa. Akhirnya dia pun tertawa setelah sekian lama tertawa. Pada Saat itulah muncul insang ikan di mulutnya dan Dayang Kumunah bergegas berlari ke arah sungai Dan berubah menjadi ikan.

Awang Usop menyesal karena sudah mendesak istrinya untuk tertawa. Namun, semua sudah terlambat. Ikan dengan bentuk badan cantik serta kulit mengilat tanpa sisik inilah yang orang-orang sebut sebagai ikan patin. Sebelum masuk ke sungai Dayang Kumunah berpesan pada suaminya Kanda  peliharalah anak-anak kita dengan baik.

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu sudah menjadi ikan. Mereka juga berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.