Apa arti pembangunan bila ia berdiri di atas puing-puing aset rakyat? Apa arti efisiensi anggaran bila yang dijalankan justru pemborosan terang-terangan? Dan apa arti hukum bila pejabat daerah merasa bisa merobohkan fasilitas publik seenaknya, tanpa kajian, tanpa prosedur, tanpa rasa malu?
Inilah wajah nyata dari proyek Taman Kota Bangkinang. Sebuah pembangunan yang digembar-gemborkan demi “kemajuan,” namun justru merusak bangunan pemerintah yang berstatus aset daerah—aset milik rakyat, hasil dari pajak rakyat. Bangunan yang mestinya dijaga malah dihancurkan. Prosedur hukum yang mestinya ditaati malah ditendang ke selokan.
Rakyat harus sadar: ini bukan sekadar proyek taman. Ini adalah simbol dari bagaimana kekuasaan di daerah memperlakukan uang dan aset publik.
Apakah pejabat yang mengurus proyek ini lupa bahwa negara sedang krisis? Bahwa harga pangan melonjak, rakyat menjerit, dan pemerintah pusat berulang kali menyerukan efisiensi anggaran? Di tengah rakyat berhemat, justru pejabat daerah tega menghamburkan aset. Bukan sekadar boros—ini adalah pengkhianatan!
Lebih dari itu, jangan kira ini hanya soal administrasi. UU Perbendaharaan Negara jelas dilanggar. PP tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dipermainkan. UU Tipikor pun mengintai. Setiap rupiah yang hilang, setiap kerugian yang ditimbulkan, adalah pintu masuk bagi jeratan pidana. Tapi entah mengapa, masih ada yang merasa aman, seolah-olah rakyat bisa dibohongi terus-menerus.
Pertanyaannya sederhana: untuk siapa pembangunan ini? Untuk rakyat yang kehilangan ruang publiknya? Untuk masyarakat yang kelak harus menutup kerugian dengan pajaknya lagi? Atau hanya untuk sekelompok orang yang menikmati keuntungan di balik papan proyek?
Cukup sudah. Rakyat Kampar berhak marah. Berhak menuntut transparansi penuh: tunjukkan dokumen penghapusan aset, tunjukkan kajian, tunjukkan siapa yang menandatangani persetujuan. Jika dokumen itu tidak ada, hentikan proyek! Audit segera, panggil pejabatnya, seret ke meja hukum jika terbukti melanggar.
Jangan biarkan pembangunan menjadi dalih untuk merampok. Jangan biarkan kata “kemajuan” dipakai untuk menutupi kerakusan. Jangan biarkan rakyat hanya jadi penonton ketika uang mereka dibakar di atas fondasi yang cacat hukum.
Bangkinang hari ini adalah cermin masa depan: jika kasus ini dibiarkan, maka setiap kota, setiap desa, bisa mengalami nasib yang sama. Aset publik dihancurkan, prosedur dilewati, rakyat diminta diam. Tidak, kita tidak boleh diam.
Karena pembangunan sejati bukan berdiri di atas reruntuhan hukum dan akal sehat. Pembangunan sejati berdiri di atas kejujuran, keterbukaan, dan keberpihakan pada rakyat. Jika pemerintah daerah tak sanggup memegang itu, maka rakyat harus berdiri dan menagihnya—dengan suara, dengan desakan, bahkan dengan perlawanan politik yang sah.
Bangkinang tidak butuh taman yang indah di atas puing-puing pengkhianatan. Bangkinang butuh pemerintah yang jujur, berani, dan setia pada rakyatnya.
Penulis : Ali Halawa
TIM Investigasi Prabu Satu Nasional (PSN)
