-->

Notification

×

Kategori Berita

CARI BERITA

Iklan

Iklan


Iklan






Persebatian Melayu, Kebudayaan Memiliki Nilai Pemersatu

| Saturday, June 03, 2023 WIB | Last Updated 2023-06-03T15:15:54Z

MARWAHRIAU.COM - Kebudayaan memiliki nilai-nilai pemersatu, yang tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Nilai-nilai budaya inilah yang seharusnya tumbuh di setiap diri dan pribadi seseorang, sehingga menjadi orang yang "tahu diri" Karena orang yang demikian tentulah dapat dipercaya dan diyakini dapat memelihara "persebatian Melayu".

Di dalam budaya Melayu, amat banyak nilai-nilai yang dapat menjadi perekat Persebatian Melayu, yang sebenarnya masih dianut oleh sebagian anggota masyarakatnya, terutama di kampung-kampung. Adapun beberapa nilai-nilai persebatian melayu itu antara lain:

Pertama, "Seaib dan semalu", yakni nilai yang saling memelihara hubungan antar sesama anggota masyarakatnya agar tidak saling membuka aib malu orang lain. Nilai ini dapat menumbuhkan kesadaran, bahwa mempermalukan sesamanya, bermakna mempermalukan dirinya sendiri. 

Kedua, "Senasib sepenanggungan", yakni nilai yang menumbuhkan rasa kegotong royongan antar sesama anggota masyarakatnya, menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial, menumbuhkan rasa persaudaraan yang kental, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja.

Ketiga "Seanak sekemanakan", yakni nilai yang tidak memilah-milah antara puak atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.

Keempat, "Seinduk dan semamak", yakni nilai yang saling menghormati tokoh dari setiap puak atau kelompok. Nilai ini akan dapat membendung munculnya rasa kedaerah yang sempit, akan dapat membongkar dinding-dinding pembatas "kotak-kotak" orang Melayu yang selama ini menjadi "duri dalam daging".

Kelima, "Sepinggan sepiring makan, setikar seketiduran", yakni nilai yang menumbuhkan rasa kebersamaan, yang saling berbagi senang dan susah, dan menjauhkan diri dari keinginan untuk "menang sendiri, kenyang seorang".

Keenam, "Seadat sepusaka, sepucuk setali darah", yakni nilai yang menjadikan nilai budaya sebagai panutan semua orang, sehingga terwujud kerukunan antar sesama anggota masyarakatnya. Nilai ini juga menyadarkan orang agar tidak terjebak kepada perbedaan-perbedaan adat dan budaya tetapi menganggap perbedaan itu sebagai khasanah budaya bersama yang perlu dijunjung dan dihormati.

Ketujuh "Sesampan dan sehaluan", yakni nilai yang menyadarkan orang bahwa mereka hidup dalam satu kesatuan yang utuh mencapai satu tujuan bersama. Nilai ini akan menghilangkan sikap yang saling berebut kuasa dan berebut pengaruh, saling mementingkan diri dan punk atau kelompoknya.

Kedelapan "Berlaba sama mendapat, hilang sama merugi", yakni nilai yang semua pihak, bahwa apapun hasil dan peluang yang dapat dimanfaatkan di daerah ini adalah untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan diri atau puak atau kelompoknya saja. Dan apapun permasalahan yang terjadi haruslah menjadi beban dan tanggungjawab bersama untuk mengatasi dan menyelesaikannya.

Kesembilan "Menegakkan tuah dalam musyawarah, menegakkan adat dalam mufakat", yakni nilai yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat Melalui musyawarah dan mufakat itulah dirumuskan beragam gagasan, diselesaikan berbagai permasalahan, dan dipadukan niat dan tekad untuk kepentingan bersama.

Kesepuluh "Bercakap bersetinah, berunding bersetabik", yakni nilai yang menyadarkan orang untuk berprilaku terpuji, arif. bijak, bersopan santun dan saling hormat menghormati. Nilai inilah yang dapat menyadarkan orang untuk tidak bersikap "kasar langgar", untuk tidak "caci mencaci", untuk tidak "hujat menghujat" atau "fitnah memfitnah' dan sebagainya yang tatanan pergaulan dan hubungan antara sesama anggota masyarakatnya. Nilai inilah yang menjadi acuan keperibadian Melayu yang berakhlak, dan berbudi pekerti mulia.

Sepuluh ungkapan diatas hanya sebagian kecil dari ribuan ungkapan nilai persebatian Melayu, yang selama ratusan tahun menjadi "jati diri" kemelayuan orang Melayu Riau. Budaya Melayu amatlah sarat dengan nilai-nilai hakiki, dikembangkan, tentulah apabila semuanya dapat dihayati, dibina dan orang Melayu Riau akan benar-benar mencerminkan dirinya sebagai "Orang Melayu" yang prilakunya dapat mewujudkan "persebatian melayu" dalam arti luas. 

Sayangnya, nilai-nilai hakiki yang sarat dengan nilai budi pekerti dan persebatian itu, sekarang nyaris diabaikan orang. Nilai-nilai itu dibiarkan terpuruk atau sengaja dipurukkan, karena sebagian orang Melayu sudah beralih kepada nilai yang dianggapnya "baru", yang belum tentu serasi dengan asas agama Islam dan budaya Melayu. 

Bahkan tidak sedikit di antaranya adalah "budaya balon" yang di luarnya kemilau sedangkan di dalamnya hampa. Akibatnya, sebagian orang Melayu sudah terseret kedalam prilaku yang "kasar langgar", terjerumus ke lembah prostitusi, terjebak ke dalam perjudian, terpasung oleh narkoba dan minuman keras, dan terbenam ke dalam tindakan kriminalitas dan sebagainya yang tidak sesuai dengan asas prilaku kemelayuan itu sendiri.

Apabila hal ini terus berlanjut, tidak mustahil, satu saat kelak, apa yang disebut "Orang Melayu Riau" tidak lagi mencerminkan "Orang Melayu" yang menganut budaya Melayu. Dengan demikian, tentulah apa yang diamanahkan Laksemana Hang Tuah: "Tak Melayu hilang di bumi” tidak akan terwujud. Sebab yang dimaksud Hang Tuah dengan "Orang Melayu" adalah "orang yang berkepribadian Melayu, yang "jati diri" nya mengacu dan berakar dari kebudayaan Melayu". 

Di dalam ungkapan adat dikatakan: "Melayu lahirnya melayu pula batinnya", jadi bukan Melayu keturunan yang prilakunya tidak lagi mencerminkan asas-asas nilai budaya Melayu.

Ditulis oleh: SEM (samir)
Sumber: Tenas Effendy, "Memelayukan" Orang Melayu
Foto: Dokumentasi Diskominfotik Riau